Prespektif Agama dalam kesetaraan Gender dan Peranannya dalam membangun budaya Patriarki



Prespektif Agama dalam kesetaraan Gender dan Peranannya dalam membangun budaya Patriarki


Pendahuluan

Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Namun gender bukanlah menyangkut tentang masaah jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Menurut definisi gender tidak mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki yang merupakan kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan dan tidak dapat diubah, melainkan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya yang dikaitkan masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Perempuan pada umumnya dikaitkan dengan keperibadian tertentu seperti watak keibuan, tidak agresif, berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, mempunyai seksualitas yang feminim, dan sebaliknya dengan laki-laki1 . sehingga gender bersifat tidak universal, yaitu tergantung pada konteks wilayah dan budaya pada masyarakat tersebut.

Seperti pada sosialisasi pada umumnya, gender merupakan hasil dari sosialisasi. Dimana keluarga berperan penting dalam hal mensosialisasikan gender tersebut. Pada permulaan bayi dilahirkan keluarga sudah harus berperan sebagai mensosialisasikan gender2. Contohnya adalah pada anak perempuan yang masih balita, dalam sosialisasinya anak tersebut diberikan mainan boneka untuk mensosialisasikan peranan gendernya yaitu perempuan sebagai mahluk yang feminisme. Karena proses sosialisasi itulah di zaman sekarang, dengan budaya patriarki yang ada pada masyarakat Indonesia pada umumnya menjadikan peran perempuan berkurang dengan dasar pemikiran bahwa laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan wanita pada umumnya, wanita dianggap kaum yang lemah, dan emosional sehingga tidak cocok untuk bekerja lapangan. Dengan pola pikir masyarakat patriarki yang seperti itu, telah terjadi banyaknya praktek diskriminasi pada kaum wanita.
Pada dunia kerja di masyarakat patriarki seperti di Indonesia, dimana hak perempuan terbatas pada anggapan bahwa “kerja perempuan sebenarnya adalah di dapur, dan pekerjaan kantor adalah dunianya laki-laki, sehingga tidak mungkin wanita sebagai pemimpin dalam pekerjaan kantoran/lapangan”.

Perumusan masalah
Usaha dalam upaya penyetaraan Gender pada dasarnya telah ada cukup lama, bahkan telah ada sejak zaman penjajahan, seperti pada zaman era R.A Kartini yang memperjuangkan hak wanita Indonesia dalam memperjuangkan akses penidikan khususnya. Pada konteks kekinian kesetaraan gender tidak habis-habisnya dibicarakan. Dimana sekelompok masyarakat menginginkan adanya kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan khsusnya pada bidang pekerjaan kantor/diluar rumah karena pada masyarakat patriarki pada umumnya perempuan sulit untuk mendapatkan haknya sebagai akses masuk dunia global saat ini. Namun yang jadi permasalahannya adalah adanya tuntutan dari sejumlah masyarakat dalam hal penyetaraan peran antara perempuan dan laki-laki khususnya dalam hal bidang pekerjaan. Karena dalam masyarakat patriarki pada umumnya wanita berpendidikan mudah dalam mengakses pekerjaan yang layak. namun, pemilihan pekerjaan tersebut masih berbasis gender1. Perempuan dianggap kaum yang lemah, pasif dan dependen. Pekerjaan seputar bidang pelayanan jasa seperti bidang administrasi, perawat, atau pelayan toko dan pekerjaan dengan sedikit ketrampilan seperti pegawai administrasi dan hanya sedikit saja yang menduduki jabatan manajer atau pengambil keputusan2. Untuk itu perlunya pembahasan ini dengan harapan bahwa adanya kesepahaman pada masyarakat patriarki, khususnya di Indonesia, tentang kesetaraan gender dalam hal pekerjaan kantoran/lapangan dengan cara menganalisis masalah tersebut melalui aspek yang berperan penting dalam membangun budaya patriarki, yaitu subyektivitas agama, dan kebijakan pemerintah. Apakah kedua faktor tersebut mendukung berkembangnya budaya patriarki atau sebaliknya mengecam tindakan budaya patriarki sebagai pembatasan hak pekerjaan pada wanita khususnya di Indonesia. Bukan tidak mungkin bahwa adanya kesalah presepsi dalam masyarakat tentang ketiga faktor tersebut menjadi dasar dari akar kelahiran  daripada budaya patriarkisme di Indonesia
Pembahasan
kondisi kesetaraan Gender di Indonesia saat ini
Dalam konstitusi kita, Pasal 28 I (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Karena itu kondisi ketidakadilan gender yang menimbulkan diskriminasi pada perempuan ini harus diubah dan dihapus sebagaimana yang dimandatkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 beserta lampirannya4.
Dalam UU tersebut pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempromosikan, memenuhi dan melindungi hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian Negara berkewajiban melakukan segala upaya untuk memberikan perlindungan, penjaminan dan pemenuhan hak untuk hidup aman, setara dan adil bagi warga negaranya, terutama bagi perempuan yang masih mengalami ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Namun, undang-undang tersebut sangat jauh dari kenyataannya dimana perempuan saat ini peluang yang lebih kecil untuk menduduki posisi jabatan dalam suatu perusahaan dibandingkan laki-laki, dengan alasan laki-laki tidak mempunyai masa halangan dalam bekerja. Berbeda dengan perempuan yang mempunyai masa halangan saat bekerja seperti ketika sedang hamil. Dan tentunya ini menunjukan bahwa masih ada ketimpangan dalam kesetaraan gender di Indonesia.
Budaya Patriarki akar Permasalahan Gender di Indonesia
Budaya patriarki merupakan budaya dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari wanita. Dalam budaya ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan wanita dan lelaki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga. Laki-laki sebagai pemimpin atau kepala keluarga memiliki otoritas yang meliputi kontrol terhadap sumber daya ekonomi, dan suatu pembagian kerja secara seksual dalam keluarga. hal ini menyebabkan wanita memiliki akses yang lebih sedikit di sektor publik dibandingkan lelaki. Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan1.
Dilematika Agama sebagai pro-kontra budaya Patriarki
Indonesia sebagai negara beketuhanan memiliki pandangan bahwa agama sebagai jalan hidup untuk menuju kehidupan yang teratur dengan adanya perintah maupun larangan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Dalam permasalahan diskriminasi kaum pekerja wanita terhadap budaya patriarki, subjektivitas agama menjadi cakupan bahasan penulis karena ajaran agama itu sendiri dipandang sebagai jalan hidup bagi masyarakat Indonesia maka ada kemungkinan agama tersebut mempengaruhi dalam timbulnya budaya patriarki tersebut.
 Menurut data Pada tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha2.Karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam (85,1%), maka penulis menganalisis melalui prespektif agama Islam terhadap diskriminasi gender.

 

Prespektif Agama Islam terhadap Gender
Isu gender dalam persepektif Islam merupakan isu yang menarik dibicarakan di kalangan akademisi, karena banyak hal yang dapat kita gali dan kita pelajari untuk lebih mengetahui nilai-nilai serta kandungan di balik isu yang berkembang tersebut lewat kacamata Al-Qur’anul Karim dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Ketika isu gender di angkat, yang timbul dalam benak kita adalah diskriminasi terhadap wanita dan penghilangan hak-hak terhadap mereka. Gender yang telah diperjuangkan oleh beberapa kalangan, baik dari kalangan akademisi atau dari kalangan yang menanggap bahwa Islam adalah agama yang memicu kehadiran isu gender tersebut di dunia ini. Tentunya para orientalis yang berbasis misionarisme ini ingin mendiskreditkan umat Islam dengan mengangkat isu ini dalam berbagai tulisan dan buku atau artikel-artikel yang menyudutkan dan memberikan opini secara sepihak tentang islam dan gender.
Islam tidak membedakan antara hak dan kewajiban yang ada pada anatomi manusia, hak dan kewajiban itu selalu sama di mata Islam bagi kedua anatomi yang berbeda tersebut. Islam mengedepankan konsep keadilan bagi siapun dan untuk siapapun tanpa melihat jenis kelamin mereka. Islam adalah agama yang telah membebaskan belenggu tirani perbudakan, persamaan hak dan tidak pernah mengedapankan dan menonjolkan salah satu komunitas anatomi saja. Islam hadir sebagai agama yang menyebarkan kasih sayang bagi siapa saja.
Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah subhanahu wata’ala baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita.” (An Nisa’: 35)
Sehingga secara asal nafkah bagi keluarga itu tanggug jawab kaum lelaki. Asy syaikh Ibnu Baaz berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya, mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik hakiki maupun maknawi1. Sehingga makna yang dapat kita ambil adalah pada konteks masyarakat saat hak dan kewajiban istri sama besar dengan suami dalam menjaga keutuhan rumah tangganya, dan dengan masyarakat saat inipun begitu. Perempuan bekerja dalam hal melaksanakan kewajibannya dan haknya, hanya berbeda dengan konteks dengan zaman saat ayat tersebut diturunkan.
Hal inilah yang harus diperhatikan oleh masyarakat dalam menginterprestasikan agama. Karena agama itu sendiri diturunkan bukan untuk dicerna secara tekstual, melainkan secara kontekstual sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, disinilah peran akal dalam mencerna wahyu yang diterima dari Allah SWT seperti halnya yang dilakukan para nabi dizamannya2.
(Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fil Maidanil amal, hal. 5)

Kesimpulan
Budaya patriarki yang pada dasarnya adalah dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan ternyata lahir tidak hanya disebabkan karena konteks budaya Indonesia semata, dimana dalam sejarah-sejarah masa lampau Indonesia sendiri telah menganut budaya patriarki tersebut. Hal ini ditambah dengan salah interprestasi dalam agama Islam sendiri sebagai pendukung budaya Patriarki padahal sebaliknya, dan agama Islam mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat Indonesia karena 85% warga Indonesia menganut agama Islam sebagai jalan hidup. Dan hanya sedikit orang yang memahami bahwa kontradiksi Agama dengan kesetaraan Gender tersebut terjadi karena kesalahan interprestasi masyarakat itu sendiri.
Saran
pemerintah perlu melaksanakan pembuatan kebijakan dalam hal kesetaraan gender khususnya kepada hak kaum perempuan mengenai pekerjaan, politik, dsb. Dan pemerintah harus berupaya mengumpulkan tokoh masyarakat seperti ulama, pendeta, orang memilii kendali terhadap masyarakatnya,dll. untuk upaya pensosialisasian antara kesinambungan antara kesetaraan gender maupun dengan ajaran agama yang mereka anut, dalam upaya pembebasan dari budaya patriarki.

Daftar Pustaka

Kamanto Sunanto, Pengantar Sosioogi (Jakarta: FE UI, 2004)
 Abbott dan Sapsford, 1987
Ishomuddin, Sosiologi Prespektif Islam (Malang: UMM Press, 2005)
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012)
http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/04/permasalahan-gender-di-indonesia-467221.html
                               http://aceh.tribunnews.com/2012/11/03/kesetaraan-gender
FRAME PROGRAM WEB SUPPLEMENTISIP4214/ SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
http://www.oocities.org/sigitdjweb/feminisme_amerika_inggris_02.htm


Tidak ada komentar:

Posting Komentar